Www.DannyPunyaCerita.blogspot.com

Selamat datang di blog saya!
Blog yang berisi tentang catatan catatan (yang mungkin nggak penting buat sebagian orang^^"), tentang mimpi, harapan, cita, cinta, dan semua yang mungkin dialami umat manusia, melalui kacamata seorang beruang yang bodoh ini..
Kritik yang membangun (dan masukan di rekening saya, jika memungkinkan), saya harapkan disini.
Jangan lupa leave comment, follow my blog atau bahkan promosiin blog saya! Hehehe! ^^v
Eniwei, makasiiih, buat kamu kamu, anda anda sekalian yang udah masuk dan baca baca blog nii,..
Tabee '... ^^v

Kamis, 01 Maret 2012

DUNIA KITA - Chapter 01

Siang saat itu tidak begitu terik di salah satu sudut daerah atas kota Semarang. Beberapa kilometer saja dari gedung olahraga Jatidiri, kawasan itu cukup teduh dan nyaman untuk ditinggali. Kebanyakan rumah di daerah itu memang membuka usaha jasa kost bagi para mahasiswa, maupun para pekerja terutama yang berasal dari luar kota Semarang. Dengan biaya sewa kamar yang rata rata terjangkau, daerah ini cukup banyak diminati oleh para perantau yang mencari tempat tinggal.

Beberapa ratus kilometer dari tempat yang ramai tempat kost itu, Agus nampak sedikit kebingungan sambil memegang kertas di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk menggayut tas ransel yang nampak kelebihan muatan. Di antara tempat yang rindang dan asri itu, Agus mau nggak mau jadi terkagum kagum. Ia nampaknya sudah jatuh hati sejak menapakkan kakinya di tempat yang asing baginya ini. Ya, Agus seperti mahasiswa kebanyakan, sedang mencari lokasi dimana ia akan bertempat tinggal.

Kost-nya yang lama ia tinggalkan dengan alasan tempatnya sudah terlalu ramai untuk ukuran sebuah tempat kost. Bayangkan. 1 rumah yang memang di desain untuk menjadi tempat kost itu sudah overloaded, dengan ruangan yang ditambah tambahkan oleh pengurus kost, bahkan garasi pun disulap menjadi kamar kost,asal duit mengalir. Agus masih bisa mentolerir kondisi itu, seandainya tidak setiap malam ia diganggu tingkah “ajaib” teman2nya. (walau sebenarnya ia lebih ajaib dari yang lainnya,hihihi). Agus bersabar hingga satu semester lamanya. Namun begitu semester berikutnya dirasa nggak ada perubahan, Agus berniat untuk cabut.

“ Nyet, kowe ngerti kost2an neng kene ra? Sing murah wae” ( nyet, kamu tau nggak kost2an disekitar sini? Yang murah saja). Tanya Agus suatu sore di beranda kampus, saat ia sedang berkumpul dengan Fahmi, teman akrabnya se fakultas.

“Lah,,kostmu ngopo? ndak diusir kowe,su?” ( lah, tempat kostmu yang lama kenapa? Kamu diusir ya? ). Tanya balik Fahmi sambil menyabet rokok yang hampir saja disedot oleh Agus.

“Wis ra betah. Ne bengi wis koyo pasar malem. Celeng tenan, kuwi rokokku garek siji yo,suu…” ( Udah nggak betah. Kalau malam udah seperti pasar malam. Sial banget, itu rokokku satu satunya,siaal ). Balas Agus sambil mencoba mengambil kembali rokoknya dari tangan Fahmi, namun gagal.

“ Jo medit2,..yo wis, ta golekno sing apik tur murah. Gampang” ( jangan pelit2. Udah, ntar aku cariin kost yang baru dan murah. Gampang )
“Tenan yo?” ( benar,ya?)

“ He em” balas Fahmi cuek sambil menyalakan rokoknya. “Lah, ra mben2 kowe ngomong karo aku ne arep pindah kost. Lha neng ngisor kono yo ono sing murah meriah. Silir meneh” ( Lah, kemarin2 nggak bilang sama aku kalo mau pindah kost. Kan di daerah bawah ada tempat yang murah meriah. Sejuk lagi).

“Heh? Neng ndi? Aku gelem!” ( Ha? Dimana? Aku mau!) jawab Agus antusias.
“ Kono, ning ngisor jembatan Tinjomoyo,wehehehehe” ( Disitu, dibawah jembatan Tinjomoyo )

“Ndasmuuuu,…” ( Sialan,.)

Begitulah. Atas rekomendasi si Fahmi, siang ini Agus nampak sedang kebingungan mencari2 tempat kost yang dimaksud. Badannya yang kecil,Nampak tenggelam oleh barang bawaannya. Agus memang nggak mau buang waktu lagi. Segera setelah ia setuju harga sewa dari informasi si Fahmi, Agus segera say goodbye dengan kostan lamanya dan segera mengemasi seluruh barangnya. Sambil mengutuk dalam hati, ia menyesal nggak bertanya lebih jelas pada Fahmi rumah kost yang dimaksud. Sambil terseok seok, Agus terus mencari dengan gigih,cieehh…

****************************************************************

Sementara itu, nggak jauh dari situ, tampak sebuah mobil taksi mendekati lokasi dimana Agus masih celingukan mencari. Mobil taksi berwarna biru itu kemudian menurunkan kecepatannya, dan kemudian berhenti sama sekali. Tak berapa lama, pintu belakang terbuka. Risa nampak hati2 menapakkan kakinya keluar taksi. Dengan berbalut rok panjang, Risa cukup kesulitan untuk keluar dari taksi, apalagi tas yang ada disebelahnya juga dibawanya. Pak supir yang melihat hal itu, buru2 menyelesaikan pekerjaannya mengeluarkan koper koper Risa dari bagasi belakang.

“Hati2, mbak”

“Iya,pak,makasih ya pak” Risa menerima uluran tangan pak supir yang hati2 menuntunnya keluar dari mobil.

Risa menengadahkan tangannya,berharap sinar matahari tidak begitu menusuk wajahnya saat ia berada di luar taksi. Matanya memincing melihat keadaan sekitar. Kemudian matanya menutup, Risa mencoba untuk merasakan udara dan suasana baru yang baru saja ia temui. Seluruh inderanya bekerja. Dalam keadaan terpejam, ia bisa merasakan aliran udara menerpa tubuh dan wajahnya. Jari jemarinya menari, mencoba menyentuh aliran angin yang mengalir lembut. Wajahnya menghangat saat angin juga menyapanya disana, kemudian Risa merasakan betapa angin sudah membalur dirinya. Angin sudah menyambutnya…Dan Risa pun tersenyum..

Pikirannya pun kembali pada saat dirinya memutuskan untuk menyampaikan keputusannya untuk mengambil kesempatan kuliah di kota Semarang, setelah ia dinyatakan lulus ujian.

“Nduk,..apa sudah kamu fikirkan betul keputusanmu ini?...kamu akan cukup jauh dari orang tuamu ini lho,nduk”

Ayah Risa mencoba untuk memastikan,bahwa keputusan putri samata wayangnya ini memang benar pilihannya. Sementara, ibu Risa sesekali mengusap air matanya. Ia tidak mengira, betapa waktu begitu cepat berputar sehingga kini putri kecil kesayangannya sudah harus keluar kota, jauh dari dirinya, untuk menuntut ilmu. Dalam hatinya tidak rela, meskipun ia tahu bahwa hal ini akan datang.

“Risa sudah fikirkan,ayah..ibu…Risa ingin mandiri..Ini penting untuk mimpi Risa nantinya”

Ayah Risa terdiam.

“Apa perlu, Roni, adikmu itu, juga ayah kirim ke Semarang, buat nemenin kamu, nduk?”

“Jangan Ayah” tukas Risa cepat. “Risa ingin mandiri. Ini keputusan Risa. Lagipula kasihan Roni, kalau harus pindah sekolah gara gara Risa”

Ayah Risa kembali terdiam. “Baiklah, nduk…Ayah dan ibu juga sudah mempertimbangkan hal ini sejak semalam. Ayah rasa, ini baik untuk proses pembelajaran kamu,nduk..Tapi, kamu musti ingat, tidak boleh melupakan kewajibanmu terhadap Tuhan, menjaga nama baik keluarga kita, serta harus selalu komunikasi sama ayah ibu. Ya,nduk?”

Risa tanpa sadar menangis. Ia tersenyum. Dalam hatinya bersyukur memiliki orang tua yang begitu sayang dan begitu mendukung dirinya untuk meraih mimpinya. Risa kemudian maju dan memeluk kedua orang tuanya yang sangat ia sayangi. “Terima kasih ayah,..terima kasih,ibu”. Ketiganya berpelukan, sementara ibu Risa pun pecah tangisnya.

“jaga baik baik dirimu ya, nduk….Bapak dan ibu selalu mendukung dan mendoakanmu”

Risa mengusap air matanya saat mengingat hal tersebut.

“Ayah, bu..Risa akan baik baik saja disini. Bahkan, angin sudah menyambut Risa disini…” Ujar Risa lirih, sambil merentangkan tangannya. Ia tersenyum, mencoba bersahabat dengan angin di tempat baru yang baru saja ia tapaki.

“Anu,..mbak…kopernya mau ditaruh dimana?”

Pak Taksi bertanya hati2 pada Risa yang sedang diam mematung, tersenyum sambil membuka tangannya lebar2.. Untuk beberapa saat, suasana pun senyap.

Secepat kilat Risa membetulkan sikapnya. Wajah merahnya nggak mampu menyembunyikan betapa ia malu dilihat saat ia sedang ber katarsis dengan alam. Kelabakan, Risa berusaha menjawab pertanyaan pak supir walaupun ia nggak tau apa yang mau dijawab. Semua blank. Dan pak supir pun diam2 menahan senyum.

“ Aaa,..aanu pak,,di..ditinggal disini saja,..terima kasih,pak…ini uangnya…” jawab Risa, malu dan gugup.

‘Wah, mbak pantesnya jadi penyair atau penari,mbak.hehehe,..terima kasih,mbak” komentar pak supir sambil menerima uang dari Risa.

Risa tidak menjawab, ia hanya tertunduk malu setengah mati.

*************************************************************

Butuh kira kira satu jam untuk sampai ke kampus di ujung utara kota Semarang dari tempat dimana kini Risa sedang berdiri, tepatnya di kawasan industri Terboyo. Walaupun tertata dengan puluhan bangunan maupun gedung dan pabrik, kawasan industri ini juga memiliki fasilitas pendidikan, mulai dari TK hingga salah satu universitas terbesar di kota ini. Abdiel baru saja melangkah keluar dari fakultas tempatnya akan menempuh pendidikan selama beberapa tahun ke depan, hingga dia dapat dikualifikasikan sebagai seorang dokter.

Masa registrasi baginya sangat menyiksa. Abdiel yang terbiasa berada di dalam lingkungan sekitarnya yang personal, kini harus berhadapan dan memaksanya untuk berinteraksi dengan banyak orang. Abdiel merasa kikuk, dan jauh dalam hatinya ia tidak tahu harus bagaimana. Namun syukurlah, Abdiel berhasil menyelesaikan segala kebutuhan administrasi untuk registrasi ulang untuk mengetahui NIM ( nomor induk mahasiswa), kelompok, serta jadwal kuliah yang akan dimulai beberapa minggu lagi. Setelah selesai, Abdiel segera keluar dengan sedikit langkah tergesa, dari gedung registrasi. Abdiel menuju tempat parkiran mobil, dimana sebuah BMW menunggunya. Sesaat setelah Abdiel terlihat, Pak Karno, supir keluarga Abdiel yang sudah puluhan tahun mengadi di keluarga Abdiel, keluar dari mobil dan menyambut anak majikannya. Pak Karno tersenyum dan membuka pintu belakang buat Abdiel.

“ Sudah selesai, den?”

Abdiel segera masuk ke dalam mobil, dan merebahkan dirinya di dalamnya, dan menarik nafas lega.

“ Mama telepon tadi, pak?”

“Iya, den. Tadi juga papa aden telepon, menanyakan sudah sampai mana” Jawab pak Karno yang sudah masuk ke belakang kemudi.

Pak Karno kemudian menyalakan mobil. Suara mobil yang halus, nyaris tak terdengar, menandakan bahwa mobil siap untuk dijalankan. Dengan mulus, mobil berputar, mengelilingi kampus lalu kemudian keluar lewat jalan yang sama ketika mereka masuk ke kampus, namun dengan jalur yang sudah di bagi dua, yaitu untuk kendaraan yang masuk dan kendaraan yang akan keluar. Petugas yang ada disana dengan sigap membantu pak Karno untuk menyeberangkan jalan. Kondisi jalan yang ramai, terutama dengan kendaraan roda dua, roda empat serta truk hingga kontainer begitu memenuhi jalan di depan kampus tersebut. Maklum, karena daerah ini merupakan kawasan industri yang super sibuk.

Pak Karno menyetir mobil dengan tetap tersenyum. Tanpa melirik tuannya di belakang, pak Karno mengkonfirmasikan sesuatu.

“ Aden sudah siap kuliah?”

Abdiel terdiam. Mukanya sedikit menyiratkan rasa kurang suka yang berusaha disembunyikannya. Namun pak Karno yang sudah begitu mengenal Abdiel, melihat gejala ini. Pak Karno tersenyum.

“Aden sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya aden melihat dunia dengan mata kepala sendiri”

Abdiel tetap terdiam. Ia kemudian mengalihkan pandangannya, memperhatikan laju lalu lintas yang sibuk, saat pak Karno membelokkan mobilnya masuk ke arah jalan tol.
“Abdiel nggak ngerti, pak. Kenapa papa pengen Abdiel kuliah di tempat seperti itu. Padahal Abdiel kira, Abdiel bakal nyusul kak Arum ke states”

Kak Arum yang disebut Abdiel adalah kakak perempuan Abdiel, 3 tahun lebih tua dari Abdiel, dan kini tengah menjalani program profesinya di bidang hukum di sebuah universitas di Iowa.

“Papa aden tentu punya alasan tersendiri. Apalagi dengan masuknya Aden ke Fakultas kedokteran, akan ada dokter lain di keluarga aden, selain mama aden” jawab pak Karno.
Ayah Abdiel adalah seorang pengusaha di bidang properti yang cukup ternama, sedangkan ibu Abdiel adalah seorang dokter yang megambil spesialisasi di bidang jantung.

“Iya. Tapi apa di states nggak ada fakultas kedokteran? Kan enak, bisa kuliah sama kak Arum” jawab Abdiel bertopang dagu. Ada sedikit nada protes di dalamnya, maka pak Karno terkekeh kecil saat mendengarnya.

“Kita mau kemana,pak?”

“Langsung ke lokasi tempat kos aden. Ini alamat kos yang direkomendasikan langsung dari teman papa aden, jadi pasti menyenangkan”jawab pak Karno sambil matanya terus berkonsentrasi ke arah jalan.

Abdiel diam. “Pak. Aku pengen jalan jalan dulu”

“Waah,..saya ndak berani,den. Tadi papa aden sudah pesan, begitu aden selesai di kampus, langsung disuruh antar aden ke tempat kos. Nanti kalo jalan jalan dulu, terus papa atau mama aden telepon, nanti pulangnya saya yang dimarahi,den” Pak Karno menanggapi keinginan tuan mudanya ini dengan senyum.

Pak Karno paham, bahwa semua kondisi ini membuat tuan mudanya tidak nyaman. Jauh dari keluarga yang selama ini selalu ada di sampingnya, jauh dari lingkungan nyaman yang selalu memenuhi segala keinginan Abdiel, dan kini seakan Abdiel begitu saja “terdampar” di kondisi dimana seakan Abdiel sendiri harus menghadapinya. Pak Karno begitu memahami keinginan orang tua Abdiel terhadap diri Abdiel, termasuk mengapa Abdiel dikuliahkan di universitas tersebut. Maka dari itu, tidak ada kata lain selain memenuhi dan mendukung niat tuan besarnya terhadap anak bungsunya ini.

Mobil dengan lancar mengarungi jalanan tol kota Semarang yang panas siang itu. Pak Karno mengambil arah Tinjomoyo yang mengantarnya ke arah PLN Jatingaleh. Setelah berhati hati megambil jalur kiri, mobil meluncur menuju daerah GOR Jati Diri. Setelah beberapa saat, mobil mengambil arah kanan, di salah satu gang yang cukup lebar untuk kendaraan roda empat sekalipun. Tidak butuh waktu banyak untuk pak Karno menemukan alamat yang dicari. Mobil kemudian berhenti di seberang alamat yang dituju. Abdiel yang sempat tertunda perhatiannya dengan gadgetnya, turun dari mobil tepat di hadapan rumah yang akan dijadikannya tempat kos selama ia kuliah nanti. Dalam hati, semua ketidak nyamanan mulai menyerang Abdiel.

“Aku tidak suka tempat ini”

Abdiel berkata kecil dalam hati.

*************************************************************

Suasana panas kota Semarang tak menyurutkan langkah Nanda untuk berganti dari satu angkutan kota ke angkutan kota yang lain. Dengan menenteng tas punggung hiking berukuran besar, tidak menjadikan masalah Nanda untuk terus menggendongnya. Nanda terus mengunyah permen karet yang sedari tadi sudah ada di dalam mulutnya. Wajahnya kusut, penuh keringat. Namun, Nanda tetap saja cuek mengunyahpermen karetnya sambil bersenandung kecil. Matanya liar penuh rasa ingin tahu, memperhatikan apapun yang dirasa tampak menarik baginya.

Nanda bergelantungan di tengah bis kota yang membawanya ke sebuah daerah sejuk di kota Semarang. Sesekali Nanda harus berjibaku, menahan tubuhnya agar tidak ikut jatuh di saat bis tiba tiba mengerem mendadak. Banyak penumpang yang mengumpat kecil atas kejadian tersebut, namun Nanda nyengir nyengir saja menanggapinya.

“Kiri, kiri!”

Penumpang bis tepat di sebelah Nanda berteriak ke arah supir bis agar memingirkan kendaraannya. Kernet segera saja berteriak sambil melambai lambaikan tangan ke sisi jalan, yang terkadang seenaknya saja memotong jalur kendaraan lain. Penumpang itu segera beranjak, Nanda tidak melepaskan kesempatan ini. Pada saat yang sama, ada seorang laki laki yang menginginkan hal yang sama dengan nanda, yaitu duduk di kursi yang kosong tersebut.

“Eits!”

Namun ia kalah cepat dengan Nanda yang segera saja duduk di kursi yang ditinggalkan oleh penumpang yang turun barusan. Si laki laki Nampak menatap mata Nanda dengan tatapan tak senang. Nanda nyengir sambil menjawab, “Maaf ya,mas. Yang cepat, yang dapat”. Si laki laki hanya geleng geleng kepala tak senang, dan segera kembali bergelantungan di tengah jalur bisa. Nanda tersenyum menang. Tak lama kemudian, tas besarnya ia taruh di pangkuannya. Sambil nyengir nyengir, Nanda melepas topi buluk yang sedari tadi dipakainya untuk ia gunakan mengipas bagian wajah yang terasa gerah. Lebih tepatnya Nanda mengipasi semua bagian yang bisa ia kipasi. Nanda nyengir bahagia saat angin kecil menerpa wajahnya.

Saat saat ini, Nanda kembali teringat kota tercinta yang baru saja ia tinggalkan. .. Jogjakarta.

Nanda masih ingat, bagaimana ia ribut hebat dengan ayahnya, yang kemudian berakibat kaburnya Nanda dari rumah orang tuanya di Kalimantan. Nanda yang notabene hanya membawa barang barang keperluannya saja, berkelana ke berbagai tempat, sebelum akhirnya ia tiba di Jogjakarta. Disana Nanda berteman dengan komunitas anak jalanan di Jogjakarta, dan hal ini kemudian menjadi surga bagi Nanda. Di tempat itu, Nanda belajar banyak hal tentang fakta hidup. Walau dengan seba keterbatasan, Nanda merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Nanda dapat menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu ditentukan oleh orang lain. Untuk penghasilannya, berbagai macam pekerjaan sudah pernah ia jalani. Dari buruh kasar di pasar Beringharjo, pelayan di café dan bar, hingga berjualan gudeg di pinggiran jalan Malioboro.

Di Jogja, Nanda akrab dan dekat dengan mbok Lasmi, salah satu penjual nasi Gudeg kaki lima di Malioboro. Nanda yang memang gemar kuliner ini, merasakan bahwa gudeg mbok Lasmi berbeda dengan gudeg yang lain. Namun saying, mbok Lasmi harus kalah dengan restoran cepat saji yang dengan angkuhnya menghimpit emperan kaki lima mbok Lasmi, sehingga menjadikan posisi emperan mbok Lasmi tidak lagi strategis. Belum lagi harga uang sewa tempat yang dipungut secara liat yang makin bulan makin meningkat, memaksa mbok Lasmi untuk dapat berjualan di berbagai sudut emperan kota Jogjakarta.

Nanda cukup beruntung, setelah ia nekat mengajukan diri untuk menjadi kuli cuci piring, secara perlahan Nanda semakin disayang oleh mbok Lasmi. Dari mulai mencuci piring bekas makan, meningkat menjadi menyiapkan minuman, mencatat pesanan pelanggan, hingga ikut membantu mbok Lasmi meramu gudeg dagangannya. Nanda yang rajin dan supel, membuat mbok Lasmi tidak pernah kesepian, sejak dirinya sebatang kara hidup di Jogjakarta, setelah suaminya meninggal, dan anaknya pergi pada suatu hari entah kemana meninggalkan ibunya sendiri di kota itu.

Mbok Lasmi yang kemudian mengajak Nanda untuk tinggal bersamanya di gubuknya, yang kemudian disambut gembira oleh Nanda, mulai mengajarkan segala keahliannya mengolah gudeg kepada Nanda. Dari sinilah, Nanda kemudian dapat meringankan beban mbok Lasmi dalam menyiapkan bahan bahan hingga menjadi masakan jadi untuk dijual keesokan harinya, apalagi setelah mbok Lasmi mulai sering sakit sakitan.

Hingga suatu malam, saat kondisi mbok Lasmi makin menurun, Nanda yang beberapa hari sebelumnya dengan bantuan teman temannya, berusaha mengumpulkan uang untuk Nanda, agar mbok Lasmi dapat berobat ke dokter dan minum obat, berusaha untuk meyakinkan “ibu’nya tersebut, untuk mau diperiksakan ke dokter. Mbok Lasmi hanya tersenyum serta menggeleng lemah ke arah Nanda yang mulai menangis itu. Tangan lemah mbok Lasmi meraih tangan Nanda yang mengenggamnya erat.

“Nduk,..” Panggil mbok Lasmi kepada Nanda, dengan panggilan sayangnya kepada Nanda.
“I,.iya,mbok..” Jawab Nanda dalam tangisnya. Makin erat Nanda mengenggam genggaman wanita yang amat dicintainya ini.

“Menungso,.. Manusia itu nduk,..sudah punya takdir masing masing,,.punya garis takdir yang harus dijalaninya…Gusti Pangeran sudah mengaturnya,..”
Mbok Lasmi terbatuk lemah.

“Aku yang sudah sendiri di dunia ini, tidak menyangka,..bahwa garis takdirku berseberangan denganmu,nduk..cah ayu yang ndak aku kenal,..bahkan rumahnya jauh dari sini,…”

Nanda mendengarkan sambil terus menangis sesengrukan. Sementara, gubuk semi permanen mbok Lasmi di samping kali yang telah menjadi landmark kota Joga itu makin banyak dipenuhi oleh warga setempat. Kebanyakn dari mereka, ibu ibu yang memakai kerudung. Beberapa diantaranya ada yang ikut masuk di ruangan tidur sempit nanda dan mbok Lasmi. Beberapa diantaranya bahkan sudah mulai membaca ayat ayat suci al-Qur’an.
“Gusti Pangeran memang selalu memberikan yang terbaik,..mbok tahu itu,..mbok mendapatkan hal yang terbaik buat mbok,..justru di saat mbok tidak punya siapa siapa lagi,..Kanjeng Pangeran mengirimkan kamu untuk mbok,nduk…” Ujar mbok Lasmi tertatih tatih, namun tetap memaksakan tersenyum kepada Nanda.

Suara bacaan ayat suci al-Qur’an makin membahana di ruangan itu. Hal inilah yang membuat Nanda makin kalut.

“Mbookk..jangan tinggalin Nanda,mbook..Nanda masih butuh mbok..masih perlu mbook,..jangan tinggalin Nanda mbook,..”

Mbok Lasmi tersenyum. Dengan lemah, tangannya susah payah meraih kepala Nanda. Di elusnya dengan sayang kepala Nanda.

“Mbok nggak pernah ninggalin kamu,nduk..mbok akan selalu bersama kamu nduk,..” jawab mbok Lasmi sambil terus tersenyum.

“Jadilah manusia yang berguna untuk orang lain,nduk..selalu ikhlas, nrimo, sabar,..dan jangan pernah menyerah,..disaat kamu merasa sendirian,ingatlah selalu Gusti Pangeran,nduk..IA akan selalu memberikan jalan keluar untuk semua umatnya yang tidak pernah menyerah,..”

Tangisan Nanda makin pecah di kala ia merasakan genggaman wanita yang amat dicintainya ini melemah.

“Kamu itu kuat nduk,mbok tahu itu…”

Dan setelah itu, gengaman tangan mbok Lasmi jatuh di pangkuan tubuhnya yang renta, seiring dengan hembusan nafas panjang terakhir mbok Lasmi.
Nanda yang tidak percaya hal itu, menangis sejadi jadinya. Ia mendekap erat jasad mbok Lasmi, sambil terus memanggil manggil nama mbok Lasmi. Bujukan warga di belakangnya tidak didengarnya lagi, yang ia tahu, ia kini telah kehilangan satu figure yang tidak pernah ia dapatkan seumur hidupnya, yang mampu memahami dan mencintai dirinya secara penuh. Ibarat kata, malam itu, Nanda telah kehilangan dunianya.

Satu tahun berlalu sepeninggal mbok Lasmi.

Nanda berdiri dengan mantap, melambaikan tangannya kepada teman teman jalanannya yang mengantarnya pergi. Stasiun Jombor siang itu nampak seperti sekumpulan orang yang melakukan demonstrasi. Terlihat baik lelaki maupun perempuan dengan berbagai gaya mereka, punk, pengamen, mahasiswa, dan banyak lagi. Mereka semua berwajah cerah penuh haru, mengantarkan salah satu sahabat mereka untuk mengadu nasib di kota Semarang, ibu kota jawa tengah.

Kepergian Nanda bukannya tanpa sebab. Sebelum meningal, mbok Lasmi sempat bercerita bahwa ia memiliki sahabat yang sudah dianggapnya saudara di sebuah daerah perbukitan di kota Semarang. Sahabatnya ini tempatnya ia biasa berbagi, namun harus berpisah perkara sahabatnya pindah ke kota Semarang. Bahkan mbok Lasmi pernah berpesan, apabila Nanda memutuskan untuk kembali berpetualang, Nanda diharuskan pergi ke tempat sahabatnya itu. Mbok Lasmi bahkan, sempat memberikan alamatnya kepada Nanda.
Dan kini, Nanda sudah berada di daerah yang dimaksudkan tersebut. Setelah beberapa kali bertanya, dan berjalan, Nanda makin mendekati alamat yang dimaksudkan. Langkah Nanda pun berhenti dengan mantab, saat ia berhenti di sebuah rumah, dimana ada 4 orang lagi yang juga ada disana.

Tersenyum, Nanda melihat ke atas langit. Matanya berkaca kaca.

“Mbok,..aku sudah sampai,..”

**********************************************************************

“Mas, sampeyan dimana?”

Dawo diam. Tangan kirinya tetap memegang telepon selular yang ia tempelkan di telinga kirinya. Seseorang berbicara dengannya melalui telepon itu.

“Mas, jangan khawatir. Saya ndak akan bilang ke siapapun. Saya cuma khawatir sama mas. Udah 2 tahun mas ndak ada kabar, telepon terakhir saja mas..”

“Run,. Aku baik baik saja. Sampaikan saja yang tadi saja, aku minta tolong ya” potong Dawo.

Orang yang Dawo sapa dengan sebutan Run tadi, cepat cepat menjawab.

“Mas, ndak usah kawatir, pasti saya sampaikan. Cuma, sekarang sampeyan ada dimana?biar saya ketemu sebentar sama mas. Biar saya bantu mas seperti mas sudah bantu saya. Bilang mas ada dimana sekarang, saya belum bilang terima kasih sama mas,..”

Dawo kembali diam mendengar ucapan orang di seberangnya.

“Terima kasih,Run. Ndak usah. Kamu baik baik saja disana. Sudah ya, aku tutup,”

“Mas! Mas bakal pulang to? Suatu hari bakal pulang,kan??”

“……………”

“…Mas,..nomor saya bakal terus aktif sampai kapanpun,..kapanpun mas butuh saya, telepon saja,mas. Beritahu saya..”

“…..Makasih,Run..nomor ini ndak usah kamu simpen. Aku pergi dulu”

Tanpa menunggu jawaban, Dawo mematikan telepon selulernya. Lalu ia membuka casing, dan mengambil kartu kontaknya.

Dawo menarik nafas panjang pelan pelan. Matanya memandang ke sekitarnya. Sudah sejak siang tadi ia tiba di ibu kota propinsi Jawa Tengah ini. Ketibaannya di terminal besar kota ini, tak membuatnya asing meskipun ia baru saja menginjakkan kakinya di kota ini. Ia sudah terlalu akrab dengan kondisi terminal yang panas, ramai, sesak dan kumuh. Tak ada yang berbeda. Semua terminal punya bau yang sama, begitu pikir Dawo dalam kepalanya.

Dawo tak ingat lagi sejak kapan ia mulai berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Yang ia ingat, hanya itulah yang harus ia lakukan. Pergi sejauh jauhnya.
Dada Dawo tiba tiba terasa sesak. Dawo kemudian mengatur nafasnya kembali. Dawo berusaha mengenyahkan fikiran yang sedang menyerangnya sekarang.

Tak ada lagi. Semua sudah berlalu. Aku sudah tidak lagi berhubungan dengan itu semua!

Dawo kemudian merogoh saku celananya. Sebuah kertas kusam, tak kalah dengan penampilan Dawo saat ini, dibukanya. Nampak sebuah alamat tertera disana. Alamat yang ia dapatkan saat dirinya berada di kota Solo beberapa waktu lalu. Dawo kemudian bergegas berjalan, bertanya kepada kondektur tembakan yang lewat di depannya. Dengan arahan yang jelas, Dawo mengangguk mengerti. Ia kemudian segera menuju tempat angkutan kota yang akan mengantarnya ke tempat tujuannya. Dengan langkah lambat namun mantap, jemari Dawo memilin kartu kontak yang sedari tadi dipegangnya, dan kemudian membuangnya di tempat sampah.

“Jatingaleh! Jatingaleh!”

Teriakan kondektur memaksa Dawo untuk sedikit berlari, kemudian melompat ke dalam bis. Ia kemudian memilih tempat duduk paling belakang, dan duduk diam, sambil matanya memandang jauh keluar, melalui jendela di sampingnya.
Bis mulai berjalan pelan meninggalkan terminal diiringi teriakan tanpa henti kondektur yang menginformasikan tujuan bis kepada calon penumpang yang bisa berada dimanapun di sekitaran lingkungan terminal. Sementara, tak jauh dari situ di sebuah warung kopi, pemiliknya sedang duduk santai selonjoran di sebuah kursi, sambil menikmati rokok dan kopi. Suasana bising di terminal tak menyurutkannya untuk menikmati suasana, termasuk menikmati berita siang dari tv 14 inci yang terpasang sedikit tinggi di atas kepalanya. Presenter cantik yang membawakannya, membuatnya terkekeh, menampakkan sedikit gigi yang menguning karena tembakau atau entah apa. Sayup sayup suasana terminal yang akrab di telinganya melenakannya di dalam kesantaiannya, salah satu kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.
…………………………..

“…pembunuhan terhadap anggota geng di Kota Solo baru baru ini disinyalir sebagai salah satu kejadian paling berdarah yang pernah terjadi. Berikut akan kita dengarkan laporan dari reporter Indriana yang kini berada di lokasi,.. Silahkan Indriana,..”

………………………………………………………………………………………………